Dari Sumatera Barat ke Surabaya, Claudia Purba (C) berbincang dengan Noverdy Putra (N).
Hamparan bukit hijau, air yang biru jernih, dan tak lupa ada angin simpang siur yang menemani sembari menyesap kopi minang solok. Sedikit lamunan penghantar sebelum memulai berbincang dengan Noverdy Putra, kawan kami dari tanah Minang yang berbagi sedikit cerita tentang kopi di Sumatera Barat.
C: Bagaimana awal ketertarikan Verdy dalam dunia Kopi & bagaimana menekuninya?
N: 10 tahun aku kuliah di Bandung setelah lulus, aku kerja di Balidan tahun 2015 aku memutuskan untuk resign dari pekerjaan aku dan terpikir untuk kembali ke Padang dan salah satu orang yang aku telepon pertama kali setelah orang tuaadalah Bang Allan (seorang teman kuliah diBandung).
“Bang aku pulang ya, ke Padang, tapi aku gatau mau ngapain”.
“Yaudah ver, pulang aja dulu...” dan tahun 2016 aku mulailah jalan di Pandeka.
Sebenarnya, aku lebih menggeluti dunia musik, aku jualan CD, suka nulis tentang musik, karena menurutku semua bisa berawal dari itu semua; musik, film dan buku. Akusering bersentuhan dengan komunitas, lalu akhirnya di Rimbun aku handle bagian “Community Relation”. Fokusku adalah membuat konten untuk media sosial atau create acara dan menggerakan komunitas.
Kita semua tau tentang rasa kopi dan mempunyai cara sendiri untuk menikmatinya, nah tapi ada satu yang gak kalah penting dari itu , yaitu “story” dibalik secangkir kopi. Akhirnya dengan berjalannya waktuaku terseret untuk belajar lebih rinci tentang kopi secara teknis bersama Pandeka mulailah ngurusin kopi dari hulu sampa hilir. Aku juga sering nemenin temen-temen yang datang ke Padang dan mereka sangat amazed dengan cerita serta sejarah dibalik kopi Sumatera Barat.
C: Apasih Pandeka itu?
N: Di Padang & Bukit Tinggi kita running coffeshop yang kita berinama “Rimbun”, lalu Pandeka itu seperti kakaknya, di Pandeka itu lebih hubungan langsung ke petani, quality control beans, develop menu, roasting dalam skala kecil, dan enggak ketinggalan buat konten tentangkopi seperti workshop, training barista, talkshow, kelas cupping, dan popup. Terkait roasting yang dilakukan Pandeka, kira-kira dalam sehari bisa sekitar 15kg beans lokal asal SumateraBarat (Kerinci, Singgalang, Solok, dan lain-lain).
C: Karena kalian sudah mempunyai petani sendiri, apakah kalian bisa membuat sendiri nama “beans” nya ?
N: Kalo nama beans enggak, tapi Pandeka pernah membuat nama blend sendiri yang kita namakan “anak daro”artinya adalah “mempelai wanita”.
C: Bang Verdi tadi cerita kalo teman-teman banyak yang terkesan dengan kopi dari Sumatera Barat, ada apasih bang?
N: Jadi gini, karakteristik kopi Sumatera Barat itu kan asam tapi asamnya itu berbeda, yang gak akan ketemu ditempat lain walaupun kamu sampai nyebrangke benua Afrika. Lalu. harga kopi SumateraBarat dulu itu murah, karena bijinya belum bisa dikatakan speciality.Biji kopi bisa dikatakanspecialityjika pada saat pemetikan yang dipanen hanya biji merah saja, ukuran biji sama besar dan dalam 10 gram biji yang boleh gagal hanya 1-2 buahsaja. Selama ini para petani seringkali asal dalam cara pemetikan, seringkali petani langsung petik semua biji dari bawah sampai atas tanpa memilih terlebih dahulu mana saja biji yang sudah merah, sedangkan biji yang bagian bawah itu belum tentu sudah merah masih ada yang hijau dan kuning nah kalo gitu namanya kopi asalan aja dan itu yang menjadi kopi sachet dan kopi kopi lokal.
Bang Allan beserta teman dari Jakarta dan Belanda yang pertama kali membuat sebuah koperasi disini dan kebun kopi yang pertama diurus di daerah Solok. Mereka buat koperasi, latih petani, dan bangun tim yang ngurus disananya.Posisi kita hanya sebagai anggota saja dan kita tidak turut campur terlalu banyak hal hanya diawal saja.
Suatu cerita, pernah ada seorang petani baru dia dari suatu lahan baru di pegunungan, naik motor 4 jam datang ke Rimbun lalu sharing; “Bang kita ada beans baru nih bang”, setelah itu kita langsung jadwalkan untuk visit ke kebunya dan ajarkan hal-hal dasar untuk tetap menjaga kualitas biji.
“Petik biji merahnya ajaa yaah..., setiap hari harus selalu dicheck ya karena biji yang kuning dan hijau itu juga akan berubah menjadi merah.”
Awal-awal agak kesusahan untuk harus meyakinkan dan ngajarin mereka supaya benar-benar ambil biji merahnya saja, kuning jangan, hijau jangan. Sedikit sih memang kelihatan hasil panennyatapi dengan cara seperti itu yang membuat biji dapat dikatakan Arabica Speciality.
Dulu ketika kopi semua orang minum kopi dan harganya anjlok semua pohon kopi ditebang karena mereka mikir uangnya sedikit, sementara panennya hanya beberapa kali setahun dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengganti dengan tanaman-tanaman holtikultura contohnya lobak, tapi sekarang sudah mulai naik harganya dan mereka mulai tanam kopi lagi tapi mereka juga tidak bisa meninggalkan tanaman holtikultura jadi mereka selang-seling.
C: Lalu ntar kopi rasanya kayak lobak dong? katanya kan kopi bisa meresap rasa tanaman yang ada disekitarnya?
N: Enggak kok, dulu aku juga mikirnya gitu tapi setelah aku baca sebuah jurnal ilmiah, dijelaskan kalo kondisi itu terjadi karena faktor tanah, lebih ke lingkungan dan geografis serta kemampuan barista karena setelah kopi itu diroasting , harus diistirahatkan satu-dua hari, setelah itu kopi akan dicupping dan proses tubruk manual. Selanjutnya, kopi akan disesap oleh para Q-Grader, mereka yang bisa menentukan tingkat keasaman, ragam flavor, dan finalnya adalah tugas barista untuk ngeluarin rasa-rasa itu kalo diseduh manual. Beda tingkatan suhu bisa menghasilkan rasa yang berbeda juga tapi emang gak bisa otomatis kayak mesin.
C: Apa rasa yang pernah kamu temukan dari secangkir kopimu, bang?
N: Leci! Tapi entah itu sugesti atau karena lagi dikebun.
Jadi, kita sekali setahun buat acara “Barista Boot Camp” terakhir itu ada 60 orang yang gabung dari Pekanbaru dan Sumatera Barat. Kita camping dan belajar tentang karakteristik kopi, mulai darimelihat langsung pohonya karena sebenarnya belum tentu mereka tahu bentuk pohon kopi secara langsung seperti apa, lalu belajar cara memetik, mengupas, merendam, dan semua proses lainya sampai roasting.
Lalu disatu sesi kita belum ngopi sama sekali nih seharian, ada lah barista yang bikin kopi dari biji Solok, bener-bener nih tanpa timbangan tanpa termo lalu jadilah ketidaksengajaan yang luar biasa, dia lari-lari heboh dan kita langsung kumpul semua, setelah kita coba dan sontak “Leci nihhh leci, kok bisa ya ada after-taste nya leci”.
Emang sih kalo ngopi di kebunnya langsung, yang sebenernya biasa aja cara nyeduhnya tapi malah itu yang bisa memebekas hati. Aku juga masih terheran kok ada rasa leci di “after taste” nya...... lalu kita coba lagi di rimbun dengan biji yang sama tapi setelah dicoba berkali-kali nggak bisa muncul lagi si Leci itu.
C: Terakhir nih bang, kalo secangkir kopi dapat diterjemahkan kedalam sebuah lagu, lagu apa yang dapat menggambarkanya?
N: Alvvays – In Undertow!
dulu itu aku sering ngopi di bandung tapi gak ngerti jadi aku selalu pesan espresso dan sekarang aku sudah mengenal lebih, aku belajar dari testing seperti ini, sekarang-sekarang aku kepikiranya karena udah kebiasaan ngopi begini dan.. huuuuh “okaay,.... time to let go nih....”.